Mengenai Saya

Foto saya
Ilustrator yang ingin menjadi penyanyi, desainer yang membenci animasi, tukang tidur yang menggemari kopi, Mancunian namun tetap Interisti, pecinta namun sulit untuk dicintai hanya karena selembar puisi. Don't be too serious about me, this is just irony.

Kamis, 25 Agustus 2011

Rahasia itu Berontak

Sesunyi langit menelusuri pepuingan malam,
merasakan desir desah sang bayu menorehkan cinta.

Lalu kau bawa aku menerobos kembali ke masa lalu.

Udara,
manja suaramu berayun pada partikel-partikel embun di dalamnya,
yang terkadang dingin,
yang terkadang bersembunyi,
menyimpan tautan serupa danau, semesta air matamu.

Merenggangkan sunyi,
menelusuri hasta demi hasta,
tak pernah berarah kapal ini mengarungi misterimu.
Terkadang merotasi kemudi namun terkadang ingin beradu.

Hingga kau tenggelamkan hatiku pada langit segelap ini,
Tak hanya sekeping yang pernah membuaimu dengan gugusan kata-kata.
Tak hanya sebongkah lalu meringkih dalam pelukan dosa.
Tapi seluruhnya,

Dekapmu adalah ibu yang memelihara gugusan cahaya.

Berujar senja yang merebahkan lelahnya surya pada garis cakrawala
Hari selalu berujung seperti ini,
akan selalu membawamu pada serpihan-serpihan kenangan yang tak terwujud,
pun berwujud karena terlampau terbenam di dalam masa lalu.

Ketika tiba saatnya lidahmu menguntai tanya.
Jawaban itu merangkumkan rindu yang tak henti mendamba.

"Aku masih menyimpannya, sayang.
Dan hanya itu yang aku bisa."

Rabu, 24 Agustus 2011

Ketika Tak Lagi Kulihat Jejak Langkahmu DI Sisiku

Segalanya begitu mudah kulalui, tak ada sulit yang tak bisa kuhadapi. Tak ada takut yang menghalangi, yang akan mencengkram hari-hariku.


Menyebutmu namamu, mendengar namamu.


Itu saja sudah memberikan banyak keanehan yang terjadi pada tubuhku. Darah yang mengalir lebih dingin, jantung yang berdegup lebih cepat. Sesak yang kurasakan.


Dan mata yang mulai basah hanya karna teringat jika ini tak lebih dari sekadar impian, hal yang takkan mungkin bisa kumiliki walau kupaksakan.


Inilah yang pertama. Takkan sedalam ini sakitnya jika impianku pun mengharapkanku meraihnya.


Inilah egoku. Takkan kuizinkan menguasaiku saat kutahu impianmu lebih besar dari yang kumiliki. Selanjutnya ku hanya bisa berkata, "Aku selalu ada di sisimu saat begitu sulit kau meraih impianmu"

Keputus(asa)an Terbesar

"Menghitung mundur dimulai dari sekarang.."

Kata-kata yang terngiang sesekali ini adalah keputusan terbesar yang harus kuambil. Tetap berada di Malang, kembali ke Palangkaraya, atau melangkahkan kaki ke kota lain? Aaargh, sejujurnya saya ingin tinggal di sebuah desa, terlebih lagi letaknya berada di lereng gunung, mencari ketenangan menghindari hiruk pikuk kota dan gaya hidupnya. Sepanjang hari.

Memulai aktivitas dari bangun tidur, menikmati basuhan air di waktu Subuh. Kemudian menikmati secangkir kopi dalam suasana desa di lereng gunung pada umumnya. Tanpa pekerjaan? Mustahil. Menjadi guru kesenian Sekolah Dasar tak ada jeleknya bagiku. Mengajarkan mereka menggambar mungkin. :)

Waktu siang bisa dihabiskan dengan beramah tamah dengan penduduk desa. Sebuah warung pasti akan selalu menjadi tempat favorit mereka berkumpul saling bertukar cerita. Sore menyaksikan anak-anak kecil yang bermain sepak bola atau sekadar jagongan di depan rumah sambil menikmati matahari senja, menunggu adzan Maghrib. Bagiku tenang bukan berarti membosankan.


Ranu Pane, Semeru

"Seharusnya hal ini bisa menjadi keputusan terbesar, bukan keputusasaan terbesar.."

Bukan karena ingin lari. Pada setiap pendakian yang telah kulalui, melewati setiap desa yang berada di lereng gunung yang akan kudaki, di benakku selalu terlintas bagaimana jika aku adalah mereka (baca: penduduk desa). Apa yang akan aku lakukan di desa ini, bagaimana aku akan melaluinya, dan hal-hal lainnya. Hanya ingin menghitung mundur hingga aku tahu jawaban yang pasti.

Edelweiss

Sebisanya, semampu dan seinginnya,
Tak terpaksa, tak dipaksa,
Dan dalam keadaan yang memaksa pun jauh di atas sana telah lama ada kehidupan yang kekal meski tak mengakar.


Menjejakkan diri pada pasir yang tersapu angin.
Ilalang melambai, menyambut mesra langkah kaki yang menyapanya.
Di antaranya kau bersembunyi,
Di antaranya kau ingin memandang, melihat dan memperhatikan dengan seksama keberadaanku.


Ranu Kumbolo Edelweiss, Semeru


Pada masa yang telah lama berlalu,
Ada keinginan untuk melihatmu, menarikmu dari tempat yang dingin ini.
Membawa dan meletakkanmu pada tempat semestinya kau berada.
Salah itu menyadarkanku,
Dan dari salah yang telah menyadarkanku, kau indah di atas sana.
Kau tumbuh dan mekar menghiasi setiap jengkal permukaan tanah, yang hangat diterpa cahaya matahari dan dingin angin yang membelainya.


Telah lama ku mengabaikan keberadaanmu.
Yang tak indah, namun tanpa disadari melengkapi spektrum warna kehidupan
Yang tak harum, yang lambat laun menjadi sebuah kerinduan.



Dua Puluh Empat, Ada yang Harus Dihapus dan Ada yang Tidak Harus Dirayakan

Dalam hitungan lebih kurang dari 4-5 jam, ada masa depan yang ingin lebih banyak kulihat.


Hampir 9 tahun lamanya tanpa terasa, terasing di pulau ini, terhitung sejak pertengahan tahun 2002 hingga saat ini di pertengahan tahun 2011. Mulai dari nol untuk beradaptasi dengan budayanya dan mempelajari bahasanya, hanya dua hal itu memang yang terhitung baru untukku.
Masih banyak sebenarnya.
Tempat yang ingin kukunjungi, hal-hal baru yang ingin kulihat, dua sisi yang kuingin kupelajari, gunung yang ingin kudaki, hati yang ingin kubuat lebih berwarna, dan ternyata tak cukup waktu bagiku.
Apa sekarang?


Pada suatu ketika waktu itu telah datang lagi, ada yang bertambah dan ada yang berkurang dalam hidup kita, yaitu umur dan masa hidup.


Setelah berputar selama dua puluh empat kali, pada saat itu juga aku memilih untuk melihat masa depan baru yang telah lama usang. Meninggalkan semua yang ada di sini seperti tak pernah terjadi. Seandainya ada seorang penulis buku tentang sejarah hidup seseorang, ada permintaan yang kuingin dia lakukan untukku,"Bisakah menghapus 9 tahun itu dari sejarahku?"
Dari seorang pecinta, yang pintar ataupun pemalas, petaruh, seseorang yang cantik ataupun yang buruk rupa, pencela, pendaki, pemikir, penggemar kopi, pemusik, angkuh ataupun rendah diri, yang alim atau sekedar ikut-ikutan, pembohong, parasit, kejam atau yang murah hati, dan berbagai macam manusia lainnya yang pernah kulihat dan kuperhatikan.
Kenyataannya kalian terlalu beragam untuk dihapus.


Dan sekali lagi aku bertaruh,


"Tak ada satupun dari kalian yang mengingatnya"


Malang, 05 Mei 2011

Tarian Haru di Penghujung Hari

Dari wejangan yang digulirkan pagi pada berkas sehangat surya.
Hingga rangkuman kronologi hidup selama sehari yang tertera pada langit sekelam senja.
Dikoyaknya hari, ditaburnya garam pada sayatan luka yang membuka.


Pada biru, lukisan garis-garis tak pasti.
Hingga merah menjajah setiap celah mencipta gradasi.
Kini aku begitu mudah untuk dicaci.


Dan sungguh,
tak ada sepi yang tak bisa membunuh waktu.
Merelakan gendang telinga menabuh kata memaki.


Rabu,
berkelana jiwa mengemis pada secarik suka.
Mengelabui hati seakan alpa jika ada duka.


Berapa lama akan bertahan?


Menyertakan dunia menemani tidaklah bijak.
Rencana yang tersusun di mimpi,
tertatih mengawali pagi,
berujung bencana di ujung senja.
Kemana engkau, malam?


Purnama bersikap dingin,
diacuhkannya rindu pada temaramnya lampu-lampu kota.
Tak pernah lagi kudengar,
tak pernah lagi ditawarkannya tawa,
tak pernah lagi...


Seorang hamba telah lelah mendamba, menulis mimpi di penghujung harinya.
Seorang hamba,meraih topeng dan kostum pentasnya berusaha mengelabui sepi, duka, dan rentannya hari.


Di baliknya, bukan yang terluar.
Bagian dimana terlukis senja yang bersembunyi.